Selasa, 14 Mei 2013

Mermaid


Di suatu pagi     
“ Ayah, aku tidak mau yah..” ujarku nyaris memelas kepada orangtuaku ini, ini kesekian kalinya aku memohon kepada beliau. Kesekian kalinya aku gagal dan berlari ngambek pergi sekolah. Sudah sebulan belakangan aku tak pergi ke sekolah dengan ayah lagi.
                “ Tidak bisa, ini semua sudah aturan yang ada” ujarnya tegas.
                “ Tapi kan ayah, aku masih 16 tahun. Okey sebentar lagi aku genap 17, tapi ayah juga tau dong aku mau ujian yah. Ujian akhir dan itulah penentu hidupku yah.. aku belum siap”
                “ Ini juga demi oma Jessy sayang” kata bunda menambahkan
                “ Tapi bunda..”
                “ Kamu tidak bisa membantah lagi, kasihan oma Jessy. Kamu tega melihat oma Jessy sakit-sakitan seperti itu” ujar ayah lagi. Tampak guratan kesedihan dibalik wajah tegasnya, karena ibunya sakit. Aku tak tega. Jika sudah menyangkut oma Jessy, aku tak berkutik. Aku sangat sayang oma Jessy. “ini permintaan beliau” lanjut ayah.
                “ Tapi yah..” perlawananku semakin melemah. Gagal lagikah seperti biasa? “Bunda..” ujarku meminta bantuan. Airmataku hampir-hampir menetes.
                “maafkan bunda sayang” ujar bunda lirih. Bunda selalu tak bisa melawan ayah. Akupun tidak, tapi aku sanggup untuk membantah jika demi masa depanku
                “ Aku.. aku berangkat sekolah dulu yah, bunda” ujarku melangkah keluar. PENGECUT!. Ujarku kepada diriku sendiri. Kenapa malah lari dan tak berontak lagi?. Seperti biasakan, selalu begini. Tak bisa berkutik jika sudah perintah.
Aku tak menghiraukan lagi panggilan ayah dan bunda, yang aku inginkan sekarang pergi sejauh-jauhnya dari mereka. Airmataku yang sedari tadi kutahan bergulir satu-persatu. Inikan yang dinamakan hidup?. Hanya di belengu dan tak bisa memilih sendiri jalan apa yang akan di pilih.
Kau tau aku dipaksa menikah, MENIKAH! Di usiaku yang sedini ini, kau mengerti kenapa ku memberontak dan ingin lari dari sini. Bukan saatnya aku memikirkan pernikahan disaat sekarang. Harusnya aku di dukung belajar bukan menikah. Dan alasannya karena kesehatan oma Jessy yang semakin melemah.
Aku Karina Wilson. Puteri dari keluraga terhormat Wilson, dan cucu dari Mrs Wilson  yang mempunyai anak-anak sukses dan ternama seperti ayahku. Umurku 16 tahun lewat 10 bulan dan 2 bulan lagi tepatnya 24 November aku akan berulang tahun. Dan sebulan kemudian pernikahanku akan di langsungkan.
Ada satu rahasia yang aku simpan dari kecil mengenai keluargaku. Dan hanya keluarga besarku lah yang tau. Aku menganggap ini sebuah bencana. Aku melangkah lagi dan berusaha tegar. Mungkin ini memang jalanku. Batinku dan menghapus air mataku. Tapi tiba-tiba aku berhenti dari jalanku. Kepalaku pusing dengan apa yang aku lihat. Aku serasa ingin menjerit dan pergi sejauh mungkin dari sini. Pikiranku tak terkontrol dan semuanya jadi diluar kendali .
ͼᴥᴥᴥͽ

“ Ngapain lo disini?” teriakku kelepasan emosi kepada orang yang menunggu sesuatu atau seseorang-yang aku yakini adalah aku-di depan rumahku.
“ Eh nak Ian, ayah tadi memanggil kamu karena kamu akan di antar Ian mulai hari ini sayang” ujar ayah melembut. Ayah tak mungkin menunjukkan amarahnya di depan orang lain. Akupun tidak. Karena itu urusan internal keluarga. Aku terbiasa dari kecil seperti itu. Menjaga kehormatan keluarga
“ Iya om, saya mau menjemput Karin. Ayo kita berangkat” ujarnya ramah kepada ayah. Iya si Adriano Morseley inilah calon suamiku. Dia menatapku penuh cinta dan tersenyum ceria.
Wajahku mengeras. Aku tak bisa menunjukkan amarahku. Aku hanya terdiam dan melangkah ke arah mobil jemputanku ini.
“Saya pamit om, tante” ucapnya masuk dan duduk disebelahku. “Jalan pak, SMA Karin dulu ya pak” ucapnya.
“Baik Tuan” balas sopirnya patuh
Aku hanya bisa terdiam ditengah deru mesin mobil yang berlari kencang menuju kesekolahku yang memakan waktu 30 menit. Jika berangkat bersama ayah waktu segitu terasa sangat singkat. Tapi disini waktu semenit, terasa merangkak dan lama.
“Hapus deh topeng sok anak penurut, dan senyum palsu lo itu” ucapku dingin tanpa menatapnya.
 “Ternyata lo pintar membaca ekspresi. Lumayan nyimak lo waktu di akademi”. Ucapnya. Dan semua ekspresi tenang, sopan dan ceria yang di pamerkannya tadi itu langsung hilang, berubah jadi dingin dan dia menatapku tajam.
Ya, kami memang mendapat pelatihan psikologi yang sama, karena kami sama-sama anak pengusaha dan memang dilatih untuk itu sejak kecil. Aku penah melihatnya beberapa kali. Lagian Aku bisa langsung tau itu senyum palsu dengan sekali lihat, dan akupun pandai memainkan senyum palsu itu jika perlu. Malah terlalu pandai memainkannya. Kadang ayah dan bunda yang aku yakini juga menjalani pembelajaran di akademi dulu pun terkecoh dengan senyum palsuku
“ Jadi lo udah tau gue juga anak akademi?” ujarku sinis dan tetap tak melihat ke arahnya malah terang-terangan membuang muka dan tak memandangnya. Padahal dia menatapku tajam.
“ Gue pernah ngeliat lo” jawabnya singkat.
“ Kenapa lo setuju?” tanya gue. Sekarang menatapnya lurus ke bola matanya. Dia terlihat terkejut dan jengah di tatap seperti itu. Ya, dari semua hal gila yang terjadi, dia setuju dengan hal yang direncanakan kedua orangtua kami. Pernikahan kami.
“ Hanya ingin jadi anak penurut” jawabnya memasang topeng tenang lagi.
“ wow” ujarku sinis.
“Kenapa? Lo ingin berontak, silahkan. Gue ingin lihat ekspresi tenang lo yang lo pasang dari taidi hancur berkeping-keping.” Ucapnya menantang kembali menatapku.
“gue gak selemah lo. Yang ekspresinya bisa terlihat tiap detik. Lo mestinya mengulang lagi di akademi” ucapku tetap tenang dan dingin sama sekali tak mengalihkan pandanganku.
Amarah melintasi wajahnya tapi tak sampai tinggal dan lebih lanjut. “oh ternyata cukup menarik mengenal lo” itu bukan pujian, gue tau itu. Itu sindiran yang di perhalus olehnya.
“Ya terimakasih, gue juga cukup senang mengenal orang yang bakal merenggut masa muda gue” sindir gue. Dia sadar dan sepertinya siap meledak-ledak. Tapi sekolah gue udah di depan mata dan mobil pun berhenti. Dia gak sempat lagi untuk marah. “bye Ian.. jangan tunjukin muka lo lagi di depan gue ya” ucap gue lebih menyakitkan. Dan membanting pintu mobilnya.
“bermimpi aja lo sepuasnya, nanti pulang sekolah gue juga bakal jemput lo lagi kok, bye honeyku” ucapnya bukan dengan kata-kata penuh cinta yang biasa di ucapkan pasangan kekasih, tapi dengan makna syukurin-lo-gue-tau-lo-menderita-dekat-gue-dan-nanti-masih-ada-babak-lanjutannya.
"damn" rutuk gue ke mobil yang sudah semakin menjauh
"wooaa gantengnyaa" ucap suara yang sudah nggak asing lagi. Maya. "Pacar lo ya Rin" ucap maya lagi.
e

Welcome to My blog

Tentang saya ga banyak, saya hanya gadis 16 tahun yang biasa-biasa saja. menjalani kehidupan yang biasa bersama orang tua, keluarga, sahabaat-sahabat, dan orang-orang yang saya sayangi lainnya.

Thanks buat teman-teman yang sudah bersedia mengunjungi blog saya, spesial thanks buat Allah swt karena sudah mengizinkan saya menyelesaikan blog ini, orang tua tentunya dan orang-orang yang menyayangi saya :)


About My Self

motto:: * just be your self and show to the worlds what you can do * kalo ada niat pasti ada jalan hehe