Di suatu pagi
“ Ayah, aku tidak
mau yah..” ujarku nyaris memelas kepada orangtuaku ini, ini kesekian kalinya
aku memohon kepada beliau. Kesekian kalinya aku gagal dan berlari ngambek pergi
sekolah. Sudah sebulan belakangan aku tak pergi ke sekolah dengan ayah lagi.
“
Tidak bisa, ini semua sudah aturan yang ada” ujarnya tegas.
“
Tapi kan ayah, aku masih 16 tahun. Okey sebentar lagi aku genap 17, tapi ayah
juga tau dong aku mau ujian yah. Ujian akhir dan itulah penentu hidupku yah..
aku belum siap”
“
Ini juga demi oma Jessy sayang” kata bunda menambahkan
“
Tapi bunda..”
“
Kamu tidak bisa membantah lagi, kasihan oma Jessy. Kamu tega melihat oma Jessy
sakit-sakitan seperti itu” ujar ayah lagi. Tampak guratan kesedihan dibalik
wajah tegasnya, karena ibunya sakit. Aku tak tega. Jika sudah menyangkut oma
Jessy, aku tak berkutik. Aku sangat sayang oma Jessy. “ini permintaan beliau”
lanjut ayah.
“
Tapi yah..” perlawananku semakin melemah. Gagal lagikah seperti biasa?
“Bunda..” ujarku meminta bantuan. Airmataku hampir-hampir menetes.
“maafkan
bunda sayang” ujar bunda lirih. Bunda selalu tak bisa melawan ayah. Akupun
tidak, tapi aku sanggup untuk membantah jika demi masa depanku
“
Aku.. aku berangkat sekolah dulu yah, bunda” ujarku melangkah keluar.
PENGECUT!. Ujarku kepada diriku sendiri. Kenapa malah lari dan tak berontak
lagi?. Seperti biasakan, selalu begini. Tak bisa berkutik jika sudah perintah.
Aku tak
menghiraukan lagi panggilan ayah dan bunda, yang aku inginkan sekarang pergi
sejauh-jauhnya dari mereka. Airmataku yang sedari tadi kutahan bergulir
satu-persatu. Inikan yang dinamakan hidup?. Hanya di belengu dan tak bisa
memilih sendiri jalan apa yang akan di pilih.
Kau tau aku
dipaksa menikah, MENIKAH! Di usiaku yang sedini ini, kau mengerti kenapa ku memberontak
dan ingin lari dari sini. Bukan saatnya aku memikirkan pernikahan disaat
sekarang. Harusnya aku di dukung belajar bukan menikah. Dan alasannya karena
kesehatan oma Jessy yang semakin melemah.
Aku Karina Wilson.
Puteri dari keluraga terhormat Wilson, dan cucu dari Mrs Wilson yang mempunyai anak-anak sukses dan ternama
seperti ayahku. Umurku 16 tahun lewat 10 bulan dan 2 bulan lagi tepatnya 24
November aku akan berulang tahun. Dan sebulan kemudian pernikahanku akan di
langsungkan.
Ada satu rahasia yang
aku simpan dari kecil mengenai keluargaku. Dan hanya keluarga besarku lah yang
tau. Aku menganggap ini sebuah bencana. Aku
melangkah lagi dan berusaha tegar. Mungkin ini memang jalanku. Batinku dan
menghapus air mataku. Tapi tiba-tiba aku berhenti dari jalanku. Kepalaku pusing
dengan apa yang aku lihat. Aku serasa ingin menjerit dan pergi sejauh mungkin
dari sini. Pikiranku tak terkontrol dan semuanya jadi diluar kendali .
ͼᴥᴥᴥͽ
“ Ngapain lo
disini?” teriakku kelepasan emosi kepada orang yang menunggu sesuatu atau
seseorang-yang aku yakini adalah aku-di depan rumahku.
“ Eh nak Ian, ayah
tadi memanggil kamu karena kamu akan di antar Ian mulai hari ini sayang” ujar
ayah melembut. Ayah tak mungkin menunjukkan amarahnya di depan orang lain.
Akupun tidak. Karena itu urusan internal keluarga. Aku terbiasa dari kecil
seperti itu. Menjaga kehormatan keluarga
“ Iya om, saya mau
menjemput Karin. Ayo kita berangkat” ujarnya ramah kepada ayah. Iya si Adriano
Morseley inilah calon suamiku. Dia menatapku penuh cinta dan tersenyum ceria.
Wajahku mengeras.
Aku tak bisa menunjukkan amarahku. Aku hanya terdiam dan melangkah ke arah
mobil jemputanku ini.
“Saya pamit om,
tante” ucapnya masuk dan duduk disebelahku. “Jalan pak, SMA Karin dulu ya pak”
ucapnya.
“Baik Tuan” balas
sopirnya patuh
Aku hanya bisa
terdiam ditengah deru mesin mobil yang berlari kencang menuju kesekolahku yang
memakan waktu 30 menit. Jika berangkat bersama ayah waktu segitu terasa sangat
singkat. Tapi disini waktu semenit, terasa merangkak dan lama.
“Hapus deh topeng
sok anak penurut, dan senyum palsu lo itu” ucapku dingin tanpa menatapnya.
“Ternyata lo pintar membaca ekspresi. Lumayan
nyimak lo waktu di akademi”. Ucapnya. Dan semua ekspresi tenang, sopan dan
ceria yang di pamerkannya tadi itu langsung hilang, berubah jadi dingin dan dia
menatapku tajam.
Ya, kami memang
mendapat pelatihan psikologi yang sama, karena kami sama-sama anak pengusaha
dan memang dilatih untuk itu sejak kecil. Aku penah melihatnya beberapa kali.
Lagian Aku bisa langsung tau itu senyum palsu dengan sekali lihat, dan akupun
pandai memainkan senyum palsu itu jika perlu. Malah terlalu pandai
memainkannya. Kadang ayah dan bunda yang aku yakini juga menjalani pembelajaran
di akademi dulu pun terkecoh dengan senyum palsuku
“ Jadi lo udah tau
gue juga anak akademi?” ujarku sinis dan tetap tak melihat ke arahnya malah
terang-terangan membuang muka dan tak memandangnya. Padahal dia menatapku
tajam.
“ Gue pernah
ngeliat lo” jawabnya singkat.
“ Kenapa lo setuju?”
tanya gue. Sekarang menatapnya lurus ke bola matanya. Dia terlihat terkejut dan
jengah di tatap seperti itu. Ya, dari semua hal gila yang terjadi, dia setuju
dengan hal yang direncanakan kedua orangtua kami. Pernikahan kami.
“ Hanya ingin jadi
anak penurut” jawabnya memasang topeng tenang lagi.
“ wow” ujarku
sinis.
“Kenapa? Lo ingin
berontak, silahkan. Gue ingin lihat ekspresi tenang lo yang lo pasang dari
taidi hancur berkeping-keping.” Ucapnya menantang kembali menatapku.
“gue gak selemah
lo. Yang ekspresinya bisa terlihat tiap detik. Lo mestinya mengulang lagi di
akademi” ucapku tetap tenang dan dingin sama sekali tak mengalihkan
pandanganku.
Amarah melintasi
wajahnya tapi tak sampai tinggal dan lebih lanjut. “oh ternyata cukup menarik
mengenal lo” itu bukan pujian, gue tau itu. Itu sindiran yang di perhalus
olehnya.
“Ya terimakasih,
gue juga cukup senang mengenal orang yang bakal merenggut masa muda gue” sindir
gue. Dia sadar dan sepertinya siap meledak-ledak. Tapi sekolah gue udah di
depan mata dan mobil pun berhenti. Dia gak sempat lagi untuk marah. “bye Ian..
jangan tunjukin muka lo lagi di depan gue ya” ucap gue lebih menyakitkan. Dan
membanting pintu mobilnya.
“bermimpi aja lo
sepuasnya, nanti pulang sekolah gue juga bakal jemput lo lagi kok, bye honeyku”
ucapnya bukan dengan kata-kata penuh cinta yang biasa di ucapkan pasangan
kekasih, tapi dengan makna
syukurin-lo-gue-tau-lo-menderita-dekat-gue-dan-nanti-masih-ada-babak-lanjutannya.
"damn" rutuk gue ke mobil yang sudah semakin menjauh
"wooaa gantengnyaa" ucap suara yang sudah nggak asing lagi. Maya. "Pacar lo ya Rin" ucap maya lagi.
e